SUPLEMEN PJJ TANGGAL 31 AGUSTUS-06 SEPTEMBER 2025

TEMAN SADA DAHIN

Galatia 2:6-10

(Sasaran Pelayanan GBKP Tahun 2025 poin V: Tidak ada Jemaat dan Pelayan yang bertikai sehingga harus memekarkan PJJ ataupun Pindah Gereja)

 

Pendahuluan

Di tengah dinamika pelayanan gerejawi, kerja sama dan kesepahaman antar pelayan menjadi kunci kesatuan tubuh Kristus. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa tidak jarang terjadi gesekan antar jemaat atau bahkan pelayan, yang jika tidak dikelola dengan bijak dapat berujung pada perpecahan atau perpindahan jemaat secara emosional dan tidak sehat. Firman Tuhan hari ini mengajak kita melihat bagaimana para pemimpin gereja mula-mula yang berasal dari latar belakang berbeda dapat bekerja sama dan saling mengakui pelayanan satu sama lain demi Injil dan kesatuan umat. Galatia 2:6–10 menjadi cermin bagaimana pelayanan yang berlandaskan kasih dan misi Kristus dapat menyatukan, bukan memecah.

Penjelasan Nats

Surat Galatia ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat-jemaat di Galatia, sebagai tanggapan terhadap krisis teologis dan sosial yang sedang terjadi di sana. Ada kelompok yang mencoba memaksakan hukum Taurat kepada orang-orang percaya non-Yahudi, terutama tentang sunat dan identitas etnis dalam Kristus. Dalam konteks ini, Paulus menjelaskan pengalamannya sendiri ketika ia bertemu dengan para pemimpin gereja di Yerusalem, termasuk Yakobus, Kefas (Petrus), dan Yohanes. Pertemuan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pelayanan Paulus kepada bangsa-bangsa bukan-Yahudi berada dalam keselarasan dengan pelayanan gereja di Yerusalem.

Ayat 6: Paulus menegaskan bahwa status atau reputasi manusia tidak menjadi ukuran bagi Allah. Ia tidak mencari persetujuan dari pemimpin-pemimpin yang "dipandang tinggi", karena Injil yang diberitakannya berasal dari Kristus sendiri. Namun, yang penting, mereka tidak menambahkan sesuatu pun pada pemberitaan Paulus. Artinya, mereka mengakui otentisitas pelayanannya.

Ayat 7-8: Paulus dan Petrus memiliki ladang pelayanan yang berbeda namun setara: Petrus kepada orang Yahudi, dan Paulus kepada bangsa-bangsa lain (non-Yahudi). Keduanya diutus oleh Allah yang sama, dengan kuasa Roh Kudus yang sama. Ini menunjukkan bahwa keberagaman ladang pelayanan bukan alasan untuk bersaing, tetapi justru memperkaya misi bersama.

Ayat 9: Yakobus, Kefas, dan Yohanes memberikan tangan persekutuan kepada Paulus dan Barnabas sebagai tanda penerimaan dan dukungan. Tindakan ini melambangkan pengakuan penuh terhadap perbedaan misi namun dalam kesatuan tujuan.

Ayat 10: Satu-satunya permintaan mereka adalah agar Paulus tetap mengingat orang-orang miskin, suatu panggilan moral dan sosial yang juga penting dalam misi gereja. Paulus menyetujuinya dengan tulus.

Aplikasi

Pesan utama dari Galatia 2:6–10 sangat relevan dengan dinamika kehidupan pelayanan jemaat saat ini, khususnya dalam konteks GBKP. Rasul Paulus menunjukkan bahwa sekalipun ia berbeda latar belakang dan cara pelayanan dengan para rasul di Yerusalem, seperti Petrus dan Yakobus, perbedaan itu tidak menjadi alasan untuk bertikai atau berjalan sendiri-sendiri. Justru mereka saling mengakui pelayanan satu sama lain, memberi dukungan, dan sepakat untuk tetap fokus pada panggilan masing-masing, dengan satu semangat: memberitakan Injil Kristus.

Dalam kehidupan bergereja, khususnya di GBKP, kita sering dihadapkan pada perbedaan gaya, pendekatan, kepribadian, dan strategi pelayanan. Sayangnya, perbedaan ini kadang tidak ditangani dengan bijak sehingga menimbulkan konflik internal. Jemaat bisa terbelah, pelayan bisa merasa tersingkir atau bersaing satu sama lain, bahkan tidak sedikit yang akhirnya memilih keluar dari PJJ atau pindah gereja karena tidak tahan dengan konflik tersebut.

Pesan dari Galatia 2 ini menantang kita untuk memelihara sikap rendah hati dan saling mengakui panggilan pelayanan satu sama lain. Kita dipanggil bukan untuk menjadi sama, tetapi untuk melayani dalam keragaman yang sehat. Kesatuan dalam pelayanan tidak berarti keseragaman, tetapi keterbukaan untuk saling menghormati dan bekerja sama, bahkan ketika cara berpikir atau pendekatan kita berbeda.

Maka, dalam semangat sasaran pelayanan GBKP 2025, kita perlu:

  • Mengedepankan komunikasi yang terbuka dan jujur dalam menyelesaikan perbedaan.
  • Menanamkan kesadaran bahwa pelayanan adalah milik Tuhan, bukan ajang persaingan atau ambisi pribadi.
  • Mendorong evaluasi bersama dalam PJJ dan struktur pelayanan agar tidak ada yang merasa terabaikan atau dilangkahi.
  • Meningkatkan pembinaan rohani dan etika pelayanan, terutama tentang bagaimana menjadi rekan sekerja Allah yang saling menopang, bukan menjatuhkan.

Kiranya semangat persahabatan dalam pelayanan, seperti yang ditunjukkan antara Paulus dan para rasul lainnya, juga menjadi nyata dalam setiap relasi di GBKP, agar tidak ada jemaat atau pelayan yang merasa terasing, dan gereja kita benar-benar menjadi tubuh Kristus yang utuh dan hidup.

SUPLEMEN PJJ TANGGAL 24-30 AGUSTUS 2025, 1 KORINTI 11:23-32

LAKON PERSADAN SI BADIA

1 Korinti 11:23-32

(Sakramen)

 

Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu kita sudah membahas tentang Baptisan, dan pada kesempatan ini kita membahas tentang Perjamuan Kudus (Lakon Persadan Si Badia). Sama seperti Baptisan, Perjamuan kudus adalah salah satu sakramen yang diakui dalam tradisi Protestan. Sakramen ini merupakan tanda dan meterai dari anugerah Allah, yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam persekutuan iman, bukan semata-mata ritual atau simbol kosong. Dalam Perjamuan Kudus, kita tidak hanya mengenang kematian dan kebangkitan Kristus, tetapi juga mengalami kehadiran-Nya secara spiritual dan menerima penguatan iman. Dalam konteks jemaat Korintus, sakramen ini mengalami distorsi makna karena cara mereka merayakannya tidak sesuai dengan kehendak Kristus. Oleh karena itu, Paulus menegur dan membimbing mereka agar memahami dan menghormati makna sejati dari Perjamuan Kudus.

Penjelasan Nas

Jemaat di Korintus hidup dalam masyarakat yang terpecah secara sosial dan ekonomi. Hal ini tercermin dalam perayaan Perjamuan Kudus mereka, yang seringkali tidak mencerminkan kesatuan tubuh Kristus. Dalam 1 Korintus 11, Paulus mengecam praktik jemaat yang merayakan Perjamuan Kudus secara tidak layak: orang-orang kaya makan dan minum berlebihan lebih dahulu, sementara yang miskin datang kemudian dan tidak kebagian. Ini menyalahi hakikat sakramen sebagai persekutuan umat dalam tubuh dan darah Kristus.

Ayat 23-26: Paulus menegaskan bahwa ajaran tentang Perjamuan Kudus berasal dari Tuhan sendiri ("Aku telah menerima dari Tuhan"). Ia mengutip kembali institusi Perjamuan Kudus oleh Yesus pada malam sebelum disalibkan. Roti dan cawan menjadi lambang tubuh dan darah Kristus yang dikorbankan bagi umat manusia. Ini adalah "peringatan" bukan dalam arti nostalgia, tetapi peringatan yang aktual, kehadiran Kristus yang hidup. Setiap kali dirayakan, Perjamuan Kudus memberitakan kematian Kristus sampai Ia datang kembali.

Ayat 27-29: Paulus memperingatkan agar jangan merayakan Perjamuan Kudus "dengan cara yang tidak layak." Ini bukan soal "kesucian pribadi" semata, tetapi tentang sikap hati dan hubungan dengan sesama. Meremehkan tubuh dan darah Tuhan berarti tidak menghargai makna pengorbanan Kristus dan tidak hidup dalam kesatuan sebagai tubuh Kristus.

Ayat 30-32: Paulus menjelaskan akibat dari perayaan Perjamuan Kudus yang tidak layak: banyak yang sakit dan mati secara rohani. Namun, ia juga menekankan bahwa penghakiman Tuhan bertujuan mendidik, bukan menghukum. Maksudnya agar kita bertobat dan tidak turut dihukum bersama dunia.

Aplikasi

Perjamuan Kudus bukan sekadar ritus liturgi, tetapi perjumpaan dengan Kristus yang hidup. Dari nas ini, kita belajar bahwa:

  1. Perjamuan Kudus mengingatkan kita pada kasih karunia yang mahal.

Setiap kali kita mengambil roti dan anggur, kita diingatkan pada pengorbanan Kristus yang mematahkan kuasa dosa dan membawa pendamaian. Maka Perjamuan Kudus harus dirayakan dengan penuh rasa hormat dan syukur, bukan rutinitas kosong.

  1. Kesatuan tubuh Kristus harus nyata dalam hidup bersama.

Sama seperti tubuh terdiri dari banyak anggota, demikian juga jemaat harus hidup dalam kasih, keadilan, dan kebersamaan. Perjamuan Kudus menegur kita bila kita masih menyimpan kebencian, diskriminasi, atau ketidakpedulian terhadap sesama.

  1. Perjamuan Kudus menuntut pemeriksaan diri.

Kita diajak untuk introspeksi dan bertobat sebelum berpartisipasi dalam sakramen ini. Ini bukan soal merasa layak secara moral, tapi kesiapan untuk merendahkan diri dan menyambut anugerah Tuhan.

  1. Hidup yang dikuduskan harus menjadi buah Perjamuan Kudus.

Kita yang telah mengambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus dipanggil untuk hidup dalam terang, dalam pengharapan dan dalam pelayanan kepada sesama sebagai umat tebusan-Nya.

Dengan demikian, 1 Korintus 11:23–32 mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus bukan hanya sakramen tentang masa lalu (kematian Kristus), tetapi juga tentang masa kini (kesatuan dan pertobatan) dan masa depan (pengharapan akan kedatangan Kristus kembali). Sakramen ini memperkuat iman dan menyatukan jemaat dalam kasih Allah yang hidup.

SUPLEMEN PJJ TANGGAL 17-23 AGUSTUS 2025, KEJADIN 41:33-37

ERPEMETEH RAS PENTAR NGATURKEN PERBELITEN KELUARGA

Kejadin 41:33-37

(Keluarga)

 

 

Pendahuluan

Dalam dunia yang serba cepat, penuh tantangan ekonomi, dan harga kebutuhan yang terus naik, keluarga Kristen ditantang untuk hidup bijak dan bertanggung jawab dalam mengatur keuangan. Banyak rumah tangga mengalami tekanan bukan karena kurangnya penghasilan, tetapi karena pola kelola keuangan yang tidak sehat. Pengeluaran lebih besar dari pemasukan, tidak ada perencanaan masa depan, serta hidup konsumtif adalah beberapa gejala yang menyebabkan krisis dalam rumah tangga.

Kejadian 41:33–37 memperlihatkan bagaimana Yusuf menjadi contoh sosok yang tidak hanya berhikmat secara rohani, tetapi juga cerdas dan bijak dalam menyusun perencanaan ekonomi skala nasional. Di tengah ancaman krisis kelaparan, Yusuf menunjukkan bahwa hikmat dari Tuhan bisa diwujudkan dalam strategi ekonomi yang konkret. Bila prinsip ini diterapkan dalam skala rumah tangga, keluarga-keluarga Kristen akan sanggup bertahan, berkembang, dan menjadi berkat, bahkan di masa sulit sekalipun.

Penjelasan Nas

Kejadian pasal 41 mencatat kisah naiknya Yusuf menjadi orang nomor dua di Mesir setelah menafsirkan mimpi Firaun. Mimpi itu menggambarkan akan datangnya tujuh tahun kelimpahan dan tujuh tahun kelaparan hebat. Setelah menjelaskan makna mimpi, Yusuf tidak berhenti hanya pada tafsiran, tapi memberikan solusi praktis kepada Firaun (ay. 33–36): perlunya memilih orang yang bijaksana untuk mengatur pengumpulan makanan selama masa kelimpahan agar dapat menghadapi masa kelaparan. Ayat 33–37 merupakan klimaks dari bagian ini, di mana Yusuf menyarankan untuk menunjuk seorang yang cerdas dan bijaksana untuk mengatur sistem penyimpanan dan distribusi logistik secara nasional. Firaun dan para pegawainya merasa bahwa perkataan Yusuf itu sangat baik dan tepat.

Ayat 33: Yusuf mengusulkan adanya kepemimpinan strategis yang memadukan akal budi (pengetahuan) dan kebijaksanaan (kearifan dalam bertindak). Ini menyiratkan bahwa hikmat tidak cukup hanya tahu, tapi harus mampu mengelola dan membuat keputusan bijak.

Ayat 34–36: Yusuf memberikan rencana konkrit:

  • Mengangkat pengawas.
  • Menyisihkan 1/5 hasil bumi selama masa kelimpahan.
  • Menyimpan dalam lumbung (gudang nasional).
  • Menjadikan cadangan untuk masa krisis.

Ini adalah prinsip dasar manajemen keuangan: menabung saat surplus, mendisiplinkan pengelolaan, dan mempersiapkan masa depan.

Ayat 37: Ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan ilahi melalui Yusuf diakui dan diterima oleh pemimpin dunia, karena logis, terstruktur, dan membawa harapan bagi banyak orang.

Aplikasi

Dari teks ini, keluarga Kristen dapat belajar empat prinsip utama dalam mengatur keuangan:

  1. Miliki perencanaan keuangan jangka panjang

Yusuf tidak berpikir untuk hari ini saja, tetapi mempersiapkan tujuh tahun ke depan. Keluarga harus belajar menyusun anggaran bulanan, menabung, dan merancang dana darurat. Perencanaan adalah bentuk iman yang bertanggung jawab.

  1. Hidup hemat dan menabung saat berkelimpahan

Saat penghasilan sedang baik, bukan waktunya foya-foya, tetapi menyisihkan untuk masa sulit. Di zaman sekarang, godaan konsumtif sangat besar. Namun, keluarga Kristen harus meneladani Yusuf, bukan menghabiskan berkat secepat mungkin, tetapi mengelolanya untuk masa depan. Menabung bukan berarti tidak percaya Tuhan, tetapi justru wujud iman yang bijaksana dan berorientasi jangka panjang.

  1. Bijak dalam membedakan kebutuhan dan keinginan

Yusuf tidak hanya menyimpan, tapi mengatur distribusi dengan baik. Artinya, ada prioritas. Dalam keluarga, penting untuk membedakan pengeluaran pokok (makanan, pendidikan, kesehatan) dari pengeluaran sekunder atau tersier (gaya hidup, hiburan).

  1. Bergantung pada hikmat Tuhan, bukan hanya kecerdasan dunia

Yusuf dipilih bukan hanya karena pintar, tetapi karena “Roh Allah” ada padanya (ay. 38). Maka keluarga Kristen harus mengundang Tuhan untuk menuntun keputusan ekonomi mereka. Berdoa sebelum belanja, berdiskusi sebelum investasi, dan bijak dalam berhutang adalah cara-cara konkret menghadirkan Tuhan dalam pengelolaan keuangan.

Tuhan tidak hanya memanggil kita untuk hidup kudus, tetapi juga bijak dan bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal keuangan. Seperti Yusuf yang memadukan iman dan strategi dalam menghadapi krisis, demikian juga setiap keluarga Kristen dipanggil untuk mengatur keuangan dengan hikmat dan disiplin, demi kesejahteraan keluarga dan kemuliaan nama Tuhan.

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD